Welcome to my blog ^^ postingan2 di blog inii berisi ttg pelajaran2 khususnya biologi, musik juga ada ^^ dont forget to follow my account @ellenalilipaly (instagram) @ellena_fransina << follow yaa ;)
Senin, 08 Desember 2014
Jumat, 03 Oktober 2014
Penyesusaian Hewan Poikilotermik Terhadap Oksigen Terlarut
I.
Judul :
Penyesuaian Hewan Poikilotermik terhadap
Oksigen Terlarut
II.
Tujuan :
untuk mengetahui penyesuaian hewan poikilotermik terhadap:
·
Oksigen yang terkandung di dalam air karena
pengaruh suhu air
III.
Tinjauan Pustaka
Semua organisme laut (kecuali mammalia) bersifat poikilotermik yaitu
tidak dapat mengatur suhu tubuhnya (LEVINTON 1982 dalam Horas 1988). Suhu tubuh
hewan poikilotermik ditentukan oleh keseimbangannya dengan kondisi suhu
lingkungan, dan berubah-ubah seperti berubah-ubahnya kondisi suhu lingkungan.
Pada hewan poikilotermik air, misalnya kerang, udang dan ikan, suhu tubuhnya
sangan ditentukan oleh keseimbangan konduktif dan konvektif dengan air
mediumnya, dan suhu tubuhnya mirip dengan suhu air. Hewan memprodukdi panas
internak secara metabolik, dan ini mungkin meningkatkan suhu tubuh di atas suhu
air. Namun air menyerap panas begitu efektif dan hewan poikilotermik tidak
memiliki insulasi sehingga perbedaan suhu hewan dengan air sangat kecil
(Soewolo, 2000:331)
Oksigen terlarut (Dissolved Oxygen =DO) dibutuhkan oleh semua jasad hidup
untuk pernapasan, proses metabolisme atau pertukaran zat yang kemudian
menghasilkan energi untuk pertumbuhan dan pembiakan. Disamping itu, oksigen
juga dibutuhkan untuk oksidasi bahan-bahan organik dan anorganik dalam proses
aerobik. Sumber utama oksigen dalam suatu perairan berasal sari suatu proses
difusi dari udara bebas dan hasil fotosintesis organisme yang hidup dalam
perairan tersebut (Salmin, 2000 dalam Salmin 2005).
Makhluk hidup dapat diklasifikasikan atas dasar sumber panas bagi
tubuhnya. Endoterm adalah kelompok hewan yang mampu memproduksi sendiri panas
yang diperlukan untuk tubuhnya. Sedangkan suhu tubuh kelompok hewan Ektoterm
berasal dari suhu di sekelilingnya yang merupakan sumber panas tubuh. Kelompok
hewan ketiga adalah Heteroterm, tubuh hewan ini dapat memproduksi panas seperti
halnya pada endoterm, tetapi tidak mempertahankan suhu tubuhnya dalam kisaran
suhu yang sempit .
Pada kondisi suhu lingkungan yang ekstrim rendah di bawah batas ambang
toleransinya hewan ektoterm akan mati. Hal ini karena praktis enzim tidak aktif
bekerja sehingga metabolisme berhenti. Pada suhu yang masih bisa ditolerir,
yang lebih rendah dari suhu optimum laju metabolisme tubuhnya dan segala
aktifitas pun rendah, akibatnya gerakan hewan tersebut menjadi sangat lamban
sehingga akan memudahkan pemangsa atau predator untuk memangsa hewan tersebut.
Sebenarnya hewan ektoterm berkemampuan untuk mengatur suhu tubuhnya namun
daya mengaturnya sangat terbatas dan tidak fisiologis sifatnya melainkan secara
perilaku. Apabila suhu lingkungan terlalu panas hewan ektotermik akan
berlindung di tempat-tempat teduh, apabila suhu lingkungan menurun, hewan
tersebut akan berjemur dipanas matahari untuk menghangatkan tubuh.
Suhu mempengaruhi proses fisiologis hewan ektoterm termasuk aktivitas
yang dilakukan. Penaikan maupun penurunan tersebut mencapai dua kali aktivitas
normal. Aktifitas akan naik seiring dengan naiknya suhu sampai pada titik
dimana terjadi kerusakan jaringan, kemudian diikuti aktifitas yang menurun dan
akhirnya terjadi kematian.Pada suhu sekitar 10oC dibawah atau diatas suhu
normal suatu jasad hidup dan khususnya pada hewan ektoterm dapat mengakibatkan
penurunan atau kenaikan aktifitas jasad hidup tersebut menjadi kurang lebih dua
kali pada suhu normalnya. Sedangkan perubahan suhu yang tiba-tiba akan
mengakibatkan terjadinya kejutan atau shock (Yuliani dan Raharjo, 2009:58).
Respirasi eksternal sangat dipengaruhi oleh kadar oksigen didalam lingkunga organisme yang
bersangkutan. Untuk lingkungan air, kadar oksigen dipengaruhi oleh kelarutan
oksigen dalam air. Kelarutan oksigen dalam cairan secara umum dipengaruhi oleh:
1. Tekanan parsial oksigen (O2) di atas
permukaan cairan. Makin tinggi tekanan O2 di atas permukaan cairan, makin tinggi
pada kelarutan oksigen di dalam cairan.
2. Suhu cairan atau medium. Makin tinggi
suhu cairan atau medium, makin rendah kelarutan oksigen dalam cairan atau
medium.
3. Kadar garam di dalam cairan. Makin tinggi
kadar garam, makin rendah kelarutan oksigen di dalam cairan (Tim Dosen
Fisiologi Hewan, 2014:12).
Hutapea (1990) dalam Melki 2013 menyatakan bahwa perbedaan suhu pada
suatu perairan dipengaruhi oleh 4 faktor, yakni: (1) variasi jumlah panas yang
diserap, (2) Pengaruh konduksi panas (3) pertukaran tempat massa air secara
lateral oleh arus dan (4) pertukaran air secara vertikal. Kenaikan suhu air di
badan air penerima, saluran air, sungai, danau dan lain sebagainya akan
menimbulkan akibat sebagai berikut: 1) Jumlah oksigen terlarut di dalam air
menurun; 2) Kecepatan reaksi kimia meningkat; 3) Kehidupan ikan dan hewan air
lainnya terganggu. Jika batas suhu yang mematikan terlampaui, maka akan
menyebabkan ikan dan hewan air lainnya mati.
IV.
Metode Percobaan
4.1 Alat dan Bahan
Alat: Termometer Bahan: Ikan Mas
Beaker
Glass
Air Panas
Baskom
Es Batu
Pemanas
Air
Timbangan
Toples
ikan
Kolony
Counter
Stopwatch
Cara
Kerja
1. Pengaruh
kenaikkan suhu medium
2. Pengaruh
penurunan suhu medium
V.
Hasil Percobaan
PERLAKUAN PANAS
KEL
|
BERAT
IKAN (gram)
|
SUHU
|
GERAK OPERCULUM
|
RATA-RATA
|
||
1
|
2
|
3
|
||||
1
|
8,6
|
28 0C
|
-
|
-
|
-
|
-
|
31 0C
|
83
|
114
|
100
|
99
|
||
34 0C
|
133
|
145
|
141
|
139
|
||
37 0C
|
141
|
149
|
179
|
156
|
||
40 0C
|
141
|
151
|
146
|
146
|
||
2
|
7,2
|
26 0C
|
145
|
152
|
147
|
148
|
29 0C
|
119
|
128
|
136
|
127,6
|
||
32 0C
|
140
|
138
|
147
|
141,3
|
||
35 0C
|
145
|
158
|
158
|
153,6
|
||
38 0C
|
143
|
150
|
151
|
148
|
||
3
|
7,5
|
28 0C
|
100
|
97
|
109
|
102
|
31 0C
|
84
|
107
|
112
|
101
|
||
34 0C
|
105
|
112
|
108
|
108,3
|
||
37 0C
|
136
|
152
|
165
|
151
|
||
40 0C
|
170
|
194
|
197
|
187
|
||
4
|
5,5
|
27 0C
|
77
|
70
|
72
|
73
|
30 0C
|
169
|
85
|
81
|
111,67
|
||
33 0C
|
82
|
79
|
84
|
81,67
|
||
36 0C
|
122
|
103
|
113
|
112,67
|
||
39 0C
|
120
|
119
|
144
|
127,67
|
PERLAKUAN DINGIN
KEL
|
BERAT
IKAN (gram)
|
SUHU
|
GERAK OPERCULUM
|
RATA-RATA
|
||
1
|
2
|
3
|
||||
5
|
7,7
|
29
|
117
|
116
|
118
|
117
|
26
|
90
|
124
|
100
|
104,6
|
||
23
|
103
|
94
|
100
|
99
|
||
20
|
77
|
79
|
100
|
85,3
|
||
17
|
61
|
56
|
67
|
61,3
|
||
14
|
13
|
16
|
19
|
16
|
||
6
|
9,8
|
27
|
96
|
99
|
106
|
100
|
24
|
80
|
90
|
86
|
85
|
||
21
|
70
|
79
|
81
|
77
|
||
18
|
77
|
76
|
76
|
76
|
||
15
|
81
|
69
|
64
|
71
|
||
12
|
65
|
58
|
72
|
65
|
||
9
|
56
|
32
|
16
|
35
|
||
7
|
10,1
|
30
|
112
|
121
|
125
|
119,3
|
27
|
108
|
114
|
111
|
111
|
||
24
|
112
|
113
|
113
|
112,7
|
||
21
|
156
|
133
|
109
|
132,7
|
||
18
|
114
|
94
|
109
|
105,7
|
||
15
|
104
|
79
|
83
|
88,7
|
||
12
|
80
|
89
|
57
|
75,3
|
||
9
|
70
|
57
|
-
|
63,3
|
||
8
|
6,8
|
28
|
97
|
120
|
122
|
113
|
25
|
128
|
108
|
107
|
114,3
|
||
22
|
123
|
108
|
110
|
113,7
|
||
19
|
101
|
93
|
92
|
95,3
|
||
16
|
92
|
87
|
91
|
90
|
VI.
Pembahasan
Pada kali ini kami mengamati praktikum mengenai
Penyesuaian Hewan Poikilotermik terhadap Oksigen Terlarut, yang bertujuan untuk
mengetahui penyesuaian hewan poikilotermik terhadap oksigen yang terkandung di
dalam air karena pengaruh kenaikan suhu maupun penurunan suhu pada medium.
Berdasarkan hal tersebut praktikan terbagi menjadi dua kelompok yaitu
pengamatan pengaruh kenaikkan suhu dan pengaruh penurunan suhu. Dalam menaikkan
suhu praktikan menggunakan air panas sedangkan dalam menurunkan suhu praktikan
menggunakan es batu.
Pada saat dilakukannya penambahan air panas maupun es
batu, volume air dalam wadah harus tetap konstan artinya dalam memasukkan air
panas atau es batu volume air harus sama ketika mengeluarkan air dari wadah.
Hal ini dikarenakan agar oksigen yang terlarut dalam air tetap, sehingga faktor
suhu yang menjadi hal utama dalam praktikum kali ini dapat sempurna terjadi
tanpa adanya faktor lain yang mempengaruhinya.
Pada pengamatan kali ini suhu dalam wadah dinaikkan
dengan interval 3 0C , maka laju metabolisme ikan akan meningkat
sehingga gerakkan operkulum ikan akan lebih cepat dari suhu awal, kita
menaikkan suhu dimana untuk mengetahui pengaruh kandungan oksigen didalam air
terhadap respirasi ikan. Hal ini terbukti pada kelompok 1, 2, 3, dan 4 yang mana
mengamati mengenai pengaruh kenaikkan suhu.
Pada kelompok 1 dihasilkan suhu awal 28 0C
namun karena kurang telitinya praktikan maka praktikan lupa mencatat gerak
operkulum pada suhu awal ikan. Sehingga praktikan langsung menaikkan suhu
dengan interval 3 0C yaitu 31 0C kami mengamati sebanyak
3 kali pengulangan karena untuk melihat rerata yang sesuai dan hasil yang
optimal. Terlihat bahwa pada suhu 31 0C gerak operculum ikan yaitu
99 kali, saat dinaikkan menjadi 34 0C gerrak operculum ikan semakin
cepat yaitu 139 gerakkan. Selanjutnya pada suhu 37 0C, dan 40 0C
dihasilkan gerakkan operculum 156 dan 146 gerakkan membuka dan menutupnya
operculum. Pada kelompok 2, 3 dan 4 juga demikian yang mana semakin suhu
meningkat laju gerakkan operculum semakin cepat.
Berdasarkan hasil pengamatan yang dilakukan terlihat
bahwa dalam kondisi suhu naik (semakin panas) maka gerak operkulum ikan semakin
cepat dan tingkah laku ikan semakinn aktif, maka dapat dikertahui bahwa jika
semakin panas air maka oksigen terlarut di dalam air lebih rendah. Hal ini
terjadi karena semakin tinggi suhu memicu laju respirasi ikan semakin cepat.
Adanya kenaikkan suhu mempengaruhi peningkatan metabolisme ikan, sehingga
enzim-enzim yang mana berperan dalam proses tersebut juga akan semakin aktif untuk
memecah substrat sehingga metabolisme naik. Apanila hasil metabolisme dalam
ikan naik maka akan menghasilkan semakin banyak metabolit, maka darah akan
melakukan transport metabolit untuk diedarkan ke seluruh tubuh menjadi cepat
sehingga frekuensi denyut jantung juga menjadi meningkat. Dalam mengimbangi
proses transpor metabolit yang cepat tersebut maka ikan harus menyediakan
oksigen yang juga cepat untuk memecahkan hasil metabolisme menjadi suatu bentuk
energi melalui proses katabolisme. Respirasi harus cepat dilakukan agar
pemecahan karbohidrat menjadi energi juga menjadi cepat. Maka dari itu semakin
tinggi suhu maka proses respirasi semakin cepat yang mana menyebabkan gerakkan
operculum juga semakain cepat. Kecepatan respirasi pada kenaikkan suhu tersebut
menyebabkan kadar oksigen yang terlarut dalam air semakin sedikit karena
banyaknya oksigen yang telah digunakan untuk proses respirasi.
Suhu merupakan salah satu faktor lingkungan yang
utama pada perairan karena merupakan faktor pembatas terhadp suatu pertumbuhan
dan penyebaran hewan termasuk pada jenis ikan. Kenaikkan suhu yang melebihi
batas toleransi pada organisme dalam hal ini ikan maka organisme tersebut akan
kolaps atau bahkan mati. Hal ini karena pada suhu tinggi, protein dalam tubuh
ikan baik secara struktural dan fungsional mengalami denaturasi atau
kerusakkan. Pada kelompok 1 terlihat bahwa ikan kolaps pada suhu 43 0C,
pada kelompok 2 yaitu pada suhu 41 0C, kelompok 3 pada kisaran suhu
43 0C dan kelompok 4 yaitu pada suhu 42 0C. Sehingga batas
toleransi pada ikan berbeda-beda. Pada kelompok 1-4 terlihat bahwa ada
penurunan pada beberapa kenaikkan suhu hal ini dapat disebabkan oleh volume air
panas yang dituangkan tidak sama dengan volume air yang diambil yang mana
menyebabkan volume air tidak konstan, maka mempengaruhi kelarutan oksigen dalam
air sehingga rata-rata gerakkan operculum juga tidak valid. Selain itu juga
saat menuangkan air paas terkena pada ikan, yang mana menyebabkan ikan stress
sehingga menyebabkan semakin lambatnya gerakan operculum.
Berdasarkan hasil pengamatan diatas juga didapat
bahwa frekuensi membuka serta menutupnya operculum pada ikan mas terjadi lebih
sering pada setiap kenaikkan suhu serta penurunan suhu dari suhu awal kamar,
semakin sering ikan itu membuka serta menutup mulutnya. Hal ini dapat
disimpulkan bahwa apabila suhu meningkat, maka laju metabolisme ikan akan
meningkat sehingga gerakan membuka dan menutupnya operculum ikan akan lebih
cepat dari pada suhu awal.
Sebaliknya apabila dalam kondisi suhu turun (semakin
dingin) maka oksigen yang terlarut di dalam air semakin sedikit, gerak
operkulum semakin lambat dan tingkah laku semakin pasif. Pada kelompok 5, 6, 7
dan 8 mengamati mengenai pengaruh penurunan suhu. Pada kelompok 5 terlihat
bahwa pada suhu awal yaitu 29 0C gerakkan operculumnya 117 kali
namun, terjadi penurunan saat di turunkan dengan interval 3 0C yaitu
26 0C gerakkan operculumnya menjadi lambat yaitu 104,6, pada suhu 23 0C yaitu 99 gerakkan
operculum, pada suhu 20 0C gerakkan operculumnya 85,3 pada 17 0C
menjadi lambat yaitu 61,3 dan pada suhu 14 0C gerakkan operculum ikan semakin
menjadi lambat yaitu 16 kali dan setelah itu diturunkan lagi menjadi 11 0C
ikan kolaps.
Berdasarkan hasil pengamatan tersebut dapat
dianalisis dengan adanya penurunan suhu, maka terjadi pula penurunan
metabolisme ikan yang mana mengakibatkan kebutuhan 02 menurun,
sehingga gerakkan operculum menjadi lambat. Metabolisme yang menurun pada suhu
rendah ini disebabkan karena ikan tidak memerlukan banyak oksigen untuk memecah
karbohidrat menjadi bentuk gula yang sederhana. Sehingga respirasi dan gerakkan
operculum yang gerakkan operculum juga menjadi semakin lambat. Penurunan O2
juga dapat menyebabkkan kelarutan O2 di lingkungannya meningkat.
Jadi semakin rendah suhu maka semakin lambat respirasi yang mana menyebabkan
lambatnya pula gerakkan operculumnya. Proses respirasi yang lambat memberikan
dampak pada semakin tingginya ketersediaan oksigen didalam air (kelarutan
oksigen dalam air semakin tinggi).
Pada kondisi suhu lingkungan yang ekstrim rendah di
bawah batas ambang toleransinya hewan poikilotermik akan mati. Hal ini terjadi
karena enzim tidak aktif atau inaktif sehin gga metabolisme terhenti. Pada suhu
yang masih dapat ditolerir, yang lebih rendah dari suhu optimum laju metabolisme
tubuhnya dan segala aktifitas pun rendah, akibatnya gerakkan hewan tersebut
menjadi semakin lambat. Kecepatan respirasi juga dipengaruhi oleh kelarutan
oksigen dalam air, semakin tinggi kelarutan oksigen dalam air maka kecepatan
respirasi semakin cepat untuk memasok oksigen yang lebih banyak dalam tubuh.
Selain adanya faktor tersebut kelarutan oksigen dalam air juga dipengaruhi oleh
adanya tekanan parsial serta kadar garam dalam air.
Berat ikan juga mempengaruhi ikan
dalam melakukan respirasi. Dimana semakin berat ikan maka semakin luas bidang
penampang untuk melakukan difusi, sehingga difusi oksigen akan berjalan semakin
lambat yang mana menyebabkan proses respirasi dan gerakkan operculumnya juga
semakin lambat. Semakin kecil luas penampang maka respirasi semakin cepat. Hal
ini dapat terjadi dikarenakan sel yang mana berperan untuk melakukan difusi
pada ikan yang besar lebih banyak dari ikan yang memiliki luas penampang yang
kecil, sehingga respirasi lambat. Jadi
proses penimbangan ikan pada saat praktikum berfungsi untuk mengetahui tentang
pengaruh berat ikan terhadap kecepatan respirasinya yang mana berkaitan juga
dengan pengaruh luasnya bidang penyerapan difusi oksigen dengan kecepatan
respirasi. Namun luas penampang saja tidak terlalu signifikan untuk memberikan
dampak kecepatan respirasi tanpa adanya pengaruh kecepatan atau laju
metabolisme ikan.
VII.
Kesimpulan
Dalam praktikum kali
ini yaitu Penyesuaian hewan poikilotermik terhadap oksigen terlarut dapat
disimpulkan bahwa semakin dinaikkan suhunya, ikan semakin bergerak aktif dan
juga respirasinya cepat sehingga gerakkan membuka dan menutupnya operculum ikan
menjadi sangat cepat. Namun pada saat suhu diturunkan, ikan menjadi semakin
pasif yang mana menyebabkan pergerakkan tubuhnya sangat lambat dan proses
respirasinya juga sangat lambat sehingga gerakkan membuka dan menutupnya
operculum ikan menjadi sangat lambat.
Peristiwa ini
disebabkan karena pada saat suhu dinaikkan jumlah kandungan oksigen yang
terlarut didalam air itu sangat sedikit sehingga menyebabkan proses respirasi
pada ikan berlangsung sangat cepat dan pergerakkan ikan bersifat sangat aktif.
Sedangkan pada saat suhu diturunkan jumlah kandungan oksigen yang terlarut
dalam air itu sangat tinggi sehingga menyebabkan proses respirasi pada ikan berlangsung
sangat lambat dan pergerakkan ikan pun sangat pasif.
VIII. Saran
Sebaiknya dalam
praktikum disediakan alat untuk pemanas air.
DAFTAR PUSTAKA
Hutagalung, Horas P. 1988. Pengaruh Suhu Air Terhadap
Kehidupan Organisme Laut. Oseana, Volume
XIII, Nomor 4 : 153 – 164.(online: http://scholar.google.co.id/scholar?q=pengaruh+suhu+terhadap+oksigen+terlarut+dalam+air&hl=id&as_sdt=0&as_vis=1&oi=scholart&sa=X&ei=gFYlVPqzD87q8AW2s4CIBw&ved=0CBcQgQMwAA
). Di akses 26 September 2014
Lensun, Melky. 2013. Tingkat Pencemaran Air sungai
Tondano di Kelurahan Ternate Baru Kota Manado. Vol. 1 No. 2 : 43-48. (online: http://www.google.co.id/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=3&cad=rja&uact=8&ved=0CCgQFjAC&url=http%3A%2F%2Fejournal.unsrat.ac.id%2Findex.php%2Fbdp%2Farticle%2Fdownload%2F1919%2F1527&ei=xVMlVPj9EIyn8AWN_YKQBw&usg=AFQjCNGZv5aoNiOkDLkIgtD4F5YipiohDg&bvm=bv.76247554,d.dGc
). Di akses 26 September 2014
Salmin. 2005. Oksigen Terlarut (DO) dan Kebutuhan
Oksigen Biologi (BOD) Sebagai Salah Satu Indikator Untuk Menentukan Kualitas
Perairan. Oseana, Volume XXX, Nomor 3, 2005:21-26ISSN0216-1877.(online: http://www.google.co.id/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=1&cad=rja&uact=8&ved=0CBoQFjAA&url=http%3A%2F%2Fadesuherman09.student.ipb.ac.id%2Ffiles%2F2011%2F12%2FJurnal-BOD-indonesia.pdf&ei=xVMlVPj9EIyn8AWN_YKQBw&usg=AFQjCNHDk-3V6jVj_cjtOB8W3TPNcxSIsA&bvm=bv.76247554,d.dGc
, Diakses pada tanggal 26 September 2014
Soewolo. 2000. Pengantar fisiolgi hewan. Jakarta:
proyek pengembanagn guru sekolah menengah IBRDLoan no. 3979, Direktorat
jenderal pendidikan tinggi, departemen pendidikan nasiona.Jakarta: Direktorat
Jenderal Pendidikan Tinggi, Departemen Pendidikan Nasional
Tim Dosen
Fisiologi Hewan. 2014. Petunjuk Praktikum Fisiologi Hewan. Jember: Program
Studi Pendidikan Biologi Universitas Jember.
Yuliani, dan
Rahardjo. 2012. Panduan Praktikum Ekofisiologi. Unipress, Universitas Negeri
Surabaya: Surabaya.
Langganan:
Postingan (Atom)